Instan

Di tulisan ini, saya bukan ingin bercerita tentang mi, bumbu nasi goreng, aneka bumbu dapur—mulai dari lada, garam, ketumbar de el el—instan, yang selalu tercantum dalam daftar belanja bulanan saya. Bukan pula tentang bubur berbagai rasa, beberapa jenis daging olahan, yang juga instan, dan masih tercantum dalam daftar belanja saya. Saya sebenarnya ingin menulis tentang budaya dan perilaku instan.



Saya perlu makanan yang instan-instan, karena semuanya harus saya kerjakan sendiri. Pun, waktu seolah-olah masih selalu ingin mengejar-ngejar saya. Baru bangun tidur, saya sudah harus membuat nasi goreng misalnya. Bayangkan jika saya harus seperti ibu saya di kampung yang harus meracik cabe, garam, bawang merah, bawang putih, sedikit ebi, terus diulek. Wow...sereeem...saya pasti mandinya tergesa-gesa. Waktu membersihkan daki di sekujur tubuh saya berkurang hanya karena nasi goreng.

Saat ini, untuk memasak nasi goreng, saya hanya perlu sesendok bumbu instan. Ditambah telur atau sosis, ya sudah langsung selesai. Memang, karena instan, rasa dan gurihnya mungkin tidak seenak dengan yang alami dan masih segar.

Urusan makan-memakan ini, sesungguhnya adalah topik obrolan kegemaran saya dan kawan saya, jika sedang leyeh-leyeh sehabis makan siang di kantor. Minggu ini nyoba makanan ini, minggu depan nyicip makanan ono. Perihal cicip-mencicip ini, saya kerap terprovokasi oleh milis yang isinya hanya ngobrolin makanan...aja.

“Daripada benjol ngobrol yang serius, mendingan nggosip makanan aja ya Maaas”, salah seorang teman saya, yang memang hobi berat makan bin ngemil, Jumat kemarin, seolah ngasih saran ke saya, ketika saya curhat tentang 100 Tahun Kebangkitan Nasional, tapi kondisi bangsa kian amburadul saja. Jadilah Jumat kemarin kami nyoba Bubur Ayam Barito, yang terkenal itu.

Demam Instan

Tulisan tentang “kembaran” Ian Kasela di KOMPAS beberapa waktu yang lalu, masih tercantum dalam daftar memori saya. Otak saya yang biasanya saya reserve hanya untuk mengingat yang penting-penting saja (misalnya saya tidak harus mengingat tanggal dan hari ini karena saya anggap hanya menuh-menuhin kapasitas memori otak saya dan toh, bisa saya tanya ke teman saya), kok ya...malah bisa mengingat tulisan ringan tentang Ian Kaselo itu.

Bicara tentang memori otak, saya sudah “menitipkan” sebagian memori otak saya pada kotak kecil seukuran tempe mendhoan, yang tiap hari menemani saya. Mungkin kegiatan titip-menitip memori otak ini, hampir dilakukan semua orang sekarang. Kalau soal tanya-menanya, Mbah Google dengan setia akan menemani kita.

Kembali tentang Ian Kaselo. Karena kepincut ikutan ajang kontes menyanyi instan di televisi, Ian, pemuda kampung yang pandai bernyanyi—yang sempat sangat populer saat kontes masih berlangsung—harus mengalami nasib apes bin sial. Hidupnya penuh konflik, karena mendadak menjadi sosok pesohor yang terkenal. Di satu sisi masyarakat di kampung sudah telanjur mengenal dia sebagai artis di televisi saat kontes masih berlangsung, tapi di sisi yang lain, tatkala ia sudah tersisih, semuanya usai.

Konon, menurut tulisan di KOMPAS itu, apa yang ia punya habis terjual, demi membiayai “bom”—kirim SMS untuk mengatrol agar dirinya tidak tersisih. Tapi, nasib mujur belum berpihak padanya. SMS ke dia kalah jumlahnya dibandingkan kiriman SMS ke kontestan yang lainnya. Imajinasi kesuksesan instan itu akhirnya hanya menjadi sebuah ilusi.

Perlu Proses

Demam instan-menginstan ini, telah merebak ke hampir semua sendi kehidupan. Dari urusan administrasi, sampai keamanan dan makanan seperti di awal tulisan saya. Juga dalam karir dan pekerjaan. Saat ini, banyak anak muda dan sarjana yang baru lulus kuliah, pengin mendapatkan sesuatu yang serba instan. Serba cepat dan mudah. Pengin segera punya ini-ono, tanpa melihat situasi, kondisi, dan posisi saat ini. Lha wong karyawan biasa ya...jangan harap berfasilitas direksi. Lha wong baru mulai bekerja ya...jangan harap langsung mendapatkan fasilitas rumah, mobil, dan segala kemudahan yang lainnya—mulai dari fasilitas komunikasi dan pelesiran ke sana-sini.

“Kerja keras dan banting tulang”, adalah nasihat buat diri saya jika saya sedang curhat ke teman dekat saya, mengapa hidup saya masih begini. Saya masih belum bisa jalan-jalan menyenangkan diri saya, ke tempat-tempat yang ingin saya kunjungi. Saya juga belum bisa mengganti komputer saya dengan versi tercanggih, yang saya bisa memindahkan tulisan saya, dalam sekeping piringan digital, yang bernama CD itu. Saat ini saya juga belum bisa mengganti perangkat digital—tempat “penitipan” sebagian memori otak saya sekaligus tempat untuk berhola-halo—dengan versi paling gres yang saya bisa ngobrol, sekaligus bisa memandangi wajah teman dekat saya, jika saya sedang rindu dengan dia.

Cerita saya itu adalah sebagian dari keinginan manusia, yang bisa jadi akan menjadikan saya berperilaku instan—tidak sesuai dengan kaidah dan aturan. Saya bisa saja tergoda untuk berbuat culas dan curang, demi memenuhi nafsu dan keinginan saya. Mulai dari mencuri sebagian waktu di kantor untuk kegiatan bisnis sambilan, sampai dengan memanipulasi angka kontrak dengan klien. Dalam perilaku, instan itu temannya nipu, nyolong, nyuri, de el el. Itu terjadi jika saya tidak mampu mengendalikan diri. Syukur, saya masih bisa mengendalikan diri, dan juga nafsu.

“Kalo nafsu yang lain susah ya bo...! Maksudnya, nafsu makan, minum, ngemil, nonton...de el el !”, celetuk teman saya.

“Ya eya lah ! Masa ya eya dong. Termasuk nafsu untuk belai-membelai ya bo ? Membelai Jason, anjing elo maksudnya...Paling-paling, nyuri-nyuri waktu di kantor buat nggosip di milis !” timpal saya ke teman saya yang hobinya memelihara anjing itu.

Yang instan itu kurang enak, kurang pas, dan mungkin terlalu dipaksakan. Kamis kemarin, karena masih ngiler dengan nasi pecel yang belum saya coba, saya makan siang di warung Bu Marni di belakang PIM 2, yang berjarak hanya sepelemparan batu dari tempat saya bekerja.

Saat itu saya merasakan enaknya makan tempe goreng, hingga saya sampai menghabiskan lebih dari empat potong tempe, yang saya santap dengan cocolan sambal kecap dan potongan cabe rawit. Tempe itu masih panas, karena saat saya datang, baru di-cemplungin ke penggorengan. Rasanya mirip dengan gorengan ibu saya jika saya sedang pulang kampung. Kata Bu Marni, rahasianya ada di biji ketumbar yang bikin gurih bin nylekamin itu. “Kalau di-ulek langsung, keringet nya ke luar Mas...! Jadi lebih gurih !”, tuturnya.

“Oooo...begono. Kalo saya hanya tak taburin bumbu aja Bu. Pantesan kurang gurih ya !”, saya ceritakan ke Bu Marni perihal bumbu instan itu.

“Pake keringet segala”, batin saya, sambil membayangkan saya harus beli cobek dan ulekan, agar bisa ngulek seperti Bu Marni, sehingga saya bisa menggoreng tempe dengan lebih gurih dan berasa.

Sebelum menyelesaikan tulisan ini sambil makan mi instan dan minum kopi instan, saya teringat nasihat senior saya, saat kumpul-kumpul di Ceger, seminggu yang lalu, “Saya percaya bahwa yang kita lakukan sekarang adalah untuk kita petik hasilnya, sepuluh tahun yang akan datang”, katanya. Jelas, ia bukan sedang bicara instan. Ia sedang mengatakan bahwa semuanya perlu proses dan tahapan.
“Aduu...h kok lama amir ya Maas...”, kata tetangga saya yang seorang auditor, ketika saya cerita tentang sepuluh tahun itu. (*)

0 Comments:

Post a Comment

<< Home

New Page 1