Olah Tubuh

Saya ini orangnya hangat-hangat suam kuku. Eh...hangat- hangat txx ayam maksudnya. Cepat bosan. Perasaan dan sifat cepat bosan ini, khusus yang menyangkut olah tubuh. Mulai dari aktivitas jalan kaki, berlari, de el el semua yang berbau olah raga.

“Kalau olah-mengolah tubuh yang lain nggak ada bosannya ya jeung…? Menggoreng ayam maksudnya !”, tutur teman saya ketika saya curhat tentang sifat cepat bosan saya.

Jika saya sudah bosan, maka perasaan bosan ini bisa meningkat kadarnya menjadi sifat malas. Ini yang lebih parah. Dorongan untuk “mau” dan “gak usah” berolah raga, selalu berkejaran seperti rebutan angka pada pertandingan Piala Thomas kemarin yang kita harus dirundung duka—karena gagal ke babak final.

“Ayo Kun !”, selalu berkejaran dengan “Gak usah Maa...s”. Syaraf-syarat penggerak perintah di sistem metabolisme tubuh saya, seolah-olah berteriak, memekakkan gendang telinga saya, yang rutin saya korek-korek pakai cotton buds sehabis papung malam hari, karena keseringan saya sumpel earphone, agar selalu bisa mendengarkan Terima Kasih Cinta-nya Afgan itu.

Dulu, saya pernah hampir rutin—hampir, jadi belum rutin—, berlari dan joggang-jogging, di kawasan Senayan. Stadion Gelora Bung Karno (GBK), yang saya datangi selepas pulang kerja bersama dengan teman-teman saya, mengingatkan saya pada sosok Sinyo Aliandoe. Ia adalah pelatih Tim Sepak Bola Indonesia pada kejuaraan Pra Piala Dunia, yang kipernya Hermansyah, lalu ada juga Rully Nere.

Saat itu tahun 80-an, saya masih SD, dan tivi yang saya tonton layarnya masih hitam putih. Setrumnya pakai aki pula. Tahun itulah, saya pertama kali tahu Stadion GBK, yang saat itu bernama Stadion Utama Senayan.

“Aduh Maas...sampeyan larinya dua kali, tapi makan ketupatnya dua piring pula. Biar impas ya Maa...s...”, goda teman saya, saat kami sedang ngaso, setelah ngos-ngosan berlari-lari muterin stadion.

Saya balas, “Yang penting keluar cairan bo ! Lagian seru, rame-rame”. Keluar keringat maksudnya.

“Kalau keluar-mengeluarkan cairan yang lain sampeyan sendirian ya Maa...s ? Menangis maksudnya”, goda kawan saya lagi.

Stadion GBK ini, memang tempat yang selalu dipenuhi penjaja makanan. Ada ketupat sayur, ketoprak, mi ayam, bakso, siomay, sampai tempe mendhoan. Semuanya serba murah meriah. Sesekali, sehabis lari, kami menyewa lapangan tenis, yang kadang juga dilanjutkan berenang. Tapi, itu cerita dulu.

Pernah juga bersama teman-teman kerja saya, rutin, menyewa lapangan tenis di WTC Sudirman. Seingat saya, tamplek-tamplekan bola tenis itu paling hanya berjalan enam bulan. Saya juga pernah mencoba fitness, tapi malah lebih sebentar. Nggak lebih dari tiga bulan. Bayarnya mahal, waktunya sempit. “Sini rugi sana yang untung neeng...”, batin saya. Sekali lagi, itu dulu.

Karena sifat saya yang hangat-hangat tadi, kini semangat untuk berolah tubuh sedang bersemi kembali. Berseminya kembali semangat saya, lebih karena ditakut-takuti—bukan karena inisiatif saya murni. Kata teman saya yang menakut-nakuti, orang yang jarang mengeluarkan keringat alias berolah tubuh, kemungkinan meninggalkan dunia yang sedang lucu tur amburadul ini, lebih cepat dibandingkan dengan mereka yang giat dan rajin berolah raga.

Jujur, saya takut sekali jika harus periksa ke dokter. Sana-sini nyuruh saya general medical check up, tapi saya malah kuatir. Takut ketahuan penyakitnya, jadinya saya stres tur ketar-ketir. Malah bisa-bisa itu memperbesar kadar penyakit saya. Lha wong....katanya biar nggak sakit itu, simpel. Jauhi stres, dan sempatkan berolah raga. Saya yang secara terlahirkan sebagai orang melankolis tur gampang panik, pasti jadinya tambah stres jika mengetahui penyakit itu.

“Lha wong cek tekanan darah, gula darah, kadar kolesterol, dan asam urat yang simpel tur murah dan tersedia di gerai-gerai apotek di pusat belanja saja saya mesti dipaksa, bagaimana kalau saya harus general check up. Ntar dulu neeng...”, batin saya.
Yang Penting Keluar Keringet

Kembali tentang olah raga. Kini saya pilih mengolah tubuh lagi—bukan dengan mengikuti yoga atau golf, yang keduanya seolah-olah olah raga milik kaum eksekutif. Bukan pula futsal atau basket yang kini marak berada indoor di pusat-pusat belanja. Bukan pula bersepeda biar kelihatan sebagai anggota sebuah klub sepeda yang peduli lingkungan untuk mengurangi efek pemanasan global. Saat ini saya hanya jalan kaki, sesekali berlari, dan jogging-menjogging seperti dulu lagi. Kegiatan ini saya lakukan paling tidak dua kali dalam seminggu.

“Kalau bangunnya kesiangan, jogging nya diganti ngepel lantai dan bersihin rumah ya bo ?”, sindir tetangga saya yang rajin bermain futsal.

Sebelum mulai berlari pagi, biasanya saya pemanasan tolah-toleh sebentar, leher putar kiri-kanan, dilanjutkan sit up dan push up. Itu saya lakukan masih di rumah. Urusan angkat mengangkat tubuh sendiri, saya agak kedodoran. Letoy. Kegiatan duduk-menduduk—bukan menduduki—sambil bekerja di kantor, membuat lemak-lemak makin menumpuk di pinggang dan perut saya. Tapi apa boleh buat, usia tak bisa ditampik.

“Setelah usia melewati dua puluhan, pertumbuhan badan bukan ke atas, tapi menyamping Maa...s !”, cerita kawan saya yang seorang dokter dan kini tubuhnya sedikit tambun. Lha sekarang, usia saya tiga puluh pun telah lebih. Ya…semakin ke samping dong. Melebar maksudnya. Tambah tembem, tambah gembul, tur tambah bun…xxx.
Lari pagi saya lakukan di sebuah areal parkir pusat belanja, yang kebetulan bukanya lebih pagi.

Saat ini tempat tinggal saya di kawasan Ciputat kebetulan tidak terlalu jauh dari pusat belanja ini. Sekali berkeliling, mungkin ada sekitar dua kilo jaraknya. Lumayan. Satu jam cukup, dari jam enam sampai tujuh pagi. Tenang, dan tidak terlalu banyak lautan manusia seperti di Senayan, yang diantaranya bukan beritikad olah raga tapi hanya sekadar cuci mata.

Kini sifat hangat-hangat saya tidak perlu dirisaukan lagi. Seorang dokter ahli akupuntur yang seorang keturunan tapi bahasanya alus seperti priyayi Solo, bilang bahwa kita tidak perlu ngoyo olah raga yang berat-berat. Yang penting tiap hari kita keluar keringat. Bocoran ini saya dengar dari kolega saya yang baru saja berkonsultasi dengan dokter yang mempunyai beberapa klinik itu.

Kolega saya menambahkan, “Kun, elo tahu singa. Dia itu kuat perkasa, karena tiap pagi ngulet dan melakukan peregangan. Keempat kakinya dijulurkan, leher dikibas-kibaskan. Kita cukup deh, sempatkan seperti itu. Ringan kan ?”.

“Tapi kan secara sini bukan singa Maa....s...”, tukas saya . (*)

Bagaimana agar tiap hari keluar keringat ?

  1. Kalau mengambil sesuatu/barang, kembalikan lagi pada tempatnya.
  2. Bangun tidur, rapikan ranjang dan ruangan sekitar kita beristirahat. Jangan terlalu mengandalkan pada pembokat.
  3. Sebelum minum beberapa gelas air putih setelah bangun, goyangkan seluruh tubuh, termasuk leher, tangan, area pinggul dan yang lain. Seorang kawan di milis ini mengajarkan tentang “gerakan menggetar tradisi Cina”. Itu sangat dianjurkan.
  4. Jangan malas untuk berjalan kaki. Misalnya mengandalkan OB untuk membelikan makan siang di kantor.
  5. Jalan kaki di dalam rumah atau halaman. Ingat pelajaran olah raga di SD kita disuruh jalan di tempat kan ?
  6. Kalau poin satu sampai lima masih susah kita lakukan, paling tidak NGULET-lah setiap hari. Sesaat setelah kita bangun tidur.
*****


0 Comments:

Post a Comment

<< Home

New Page 1