Lapar Mata

"Mas, elo tuh ya, ngisin-ngisini deh. Makan gak dikontrol. Ambil mbok ya...yang sewajarnya. Tau gak, elo tuh lebay!", mitra kerja saya di sebuah tim yang usianya lima tahun lebih muda dari saya, menegur saya dengan ketus, hingga membuat bibir saya mak klakep. Terkunci. Saya enggak mampu membalas cibirannya yang bagai petir di siang bolong itu. Saya duduk mematung.

Kejadian itu terjadi minggu kemarin, saat kami dinner meeting (ini bahasa mitra saya itu; kalau saya ya...rapat sambil makan malam) di sebuah resto hotel berbintang, yang pernah menjadi sasaran bom teroris, beberapa tahun lalu.

Biasanya, kalau makan siang sambil rapat, saya jarang banget nyisani. Walaupun, restonya tidak kalah dengan yang di hotel tempat kami makan malam itu. Tapi entah, saat makan malam sambil rapat bersama klien dan mitra kerja saya, waktu itu saya selalu saja nyisani. Hampir setiap mbakyu dan kangmas pramusaji datang ke meja kami untuk mengambil peralatan makan yang sudah terpakai, ada saja sisa gigitan daging, bongkahan brokoli, atau rupa-rupa makanan lainnya yang tersisa di piring atau mangkuk yang ada di depan saya.

Mungkin karena semua kitchen saya datangi, lalu saya icip-icip, sehingga setiap habis mengambil makanan dan saya santap di meja, perut saya tidak bisa menampung lagi. Karena sebenarnya saya sudah kenyang. “Itu karena rasa lapar Mas bukan di pertiwi tapi di mata bo!”, mitra saya tadi, melengkapi tegurannya, dengan volume suara yang lebih pelan, tidak seperti waktu di awal menegur saya. Yang ini bukan ibu pertiwi, tapi perut maksudnya.

Memang resto tempat kami makan malam itu sudah terkenal sangat lengkap menunya. Hampir semua jenis makanan ada. Dari makanan ala negeri sakura, Londo, China, hingga masakan nusantara dan masakan ala "nehi-nehi" yang saya melihatnya saja sudah enek. Sudah kental, butek lagi.

Mungkin karena saya sudah gawan bayen, saking laparnya, malam itu begitu saya datang, yang saya cari nasi dan aneka lauk pauknya. Ya karuan saja saya langsung terkenyang-kenyang. “Kun, itu karena elo menikmati makanan yang endang bambang bo!”, pagi hari besoknya, teman di kantor mengomentari saya, perihal terkenyang-kenyangnya saya. Yang ini, enak banget maksud diana. Eh, maksud dia.

Lapar Mata yang Lainnya

Kawan saya yang seorang sekretaris, pernah bercerita perihal tagihan kartu kredit dia yang membengkak. Karena ya lapar mata itu. Lapar pengin blenja-blenji maksudnya. Beli sesuatu tidak memikirkan terlebih dulu. Maruk. Kata dia, jika ada mid night sale di berbagai mal yang kini marak, dengan cekatan kedua tangannya mengambil baju, kaus, celana dan aksesoris yang katanya terdiskon up to 70% itu.

Kecepatan tangannya tidak kalah saat ia sedang mengetik dan mengangkat telepon -- membuatkan janji rapat ini-itu untuk bosnya. Dia baru sadar telah lapar mata, kalau sudah sampai rumah. Ternyata kaus warna ini, cutting begini, model begini, corak begono sudah punya. Bros yang ini, mirip dengan yang ono. “Kun, gue emang nefsong bo. Secara branded, diskonnya gila-gilaan”, sambil ada perasaan mengeluh, ia ngedumel ke saya.

Begitu pun untuk koleksi aksesoris dia. Sudah punya warna hitam, pengin yang cokelat, terus yang merah dan seterusnya. Jika dijejer mungkin mirip warna pelangi. Ini baru satu item tas. Belum sepatu, giwang, jam tangan, wuih...ini baru printil-printil yang kecil. Belum yang sedikit muahal, kayak barang elektronik. Dia sudah punya HP yang ada satu kamera, beli yang dua kamera. Katanya agar bisa ngomong berdua dengan saling melihat wajah pria impiannya, bak film Flash Gordon yang saya tonton di tivi hitam putih, waktu saya SD dulu.

Jangan Tergoda

Kita sering merasakan keinginan yang kuat untuk memiliki sesuatu dengan belanja, padahal itu tidak terlalu penting-penting amat. Mungkin Anda pernah dengar cerita ini--entah ini benar atau hanya rekaan. Orang-orang di sebuah kampung karena melonjaknya komoditas yang mereka tanam, mereka beramai-ramai membeli perangkat-perangkat elektronik yang jelas, memerlukan setrum itu. Tapi saat di bawa pulang ke rumah, ternyata jaringan listrik di daerah mereka belum ada. Atau kalau pun ada, watt-nya tidak kuat. Ya...terpaksa kulkasnya jadi lemari pakaian, dan tivi berwarnanya hanya jadi pajangan.

Sejatinya tanpa kita sadari (yang karena memang secara naluri keinginan manusia itu tak terbatas), mungkin kita sering membelanjakan sesuatu yang tidak pada porsinya. Dulu, guru PKK (Pendidikan Kesejahteraan Keluarga) saya waktu sekolah SMP mengajarkan, dalam membelanjakan sesuatu, kita harus tepat waktu, tepat guna, dan efisien. Tepat waktunya, di kala ada uang (atau akan mampu membayar jika memberli dengan mencicil). Tepat guna ya...sesuai dengan fungsinya saja. Efisien, ya kalau misalnya beli busana ya yang gampang dipadupadankan dengan yang lainnya, yang sudah ada.

Teman saya yang sekretaris itu, masih ngeyel ke saya, “Mas mas, lapar blenja-blenji begini enggak apa-apa. Sudah pengin satu masih beli yang lain. Dari pada kayak penceramah kondang yang sudah punya isteri masiiih saja nyari isteri yang lain?”.

Ia menambahkan sambil menyindir, “Kalo elo harus kayak penceramah kondang itu belum bisa kaaan? Lha secara panjenengan satu isteri ajjja belum neeek...”

(Ciputat, 291108)




0 Comments:

Post a Comment

<< Home

New Page 1