Visit the Poor

Saya sedang berlatih mengikuti piwulang Mas Fauzi Ichsan, ekonom cemerlang dari sebuah bank asing terkenal, yang putera dari perancang senior, Ibu Poppy Dharsono itu. Kata Mas Fauzi dalam sebuah wawancara majalah gaya hidup pria, jika ia sedang stres, salah satu terapinya (yang saya jadikan judul tulisan saya kali ini) adalah Visit the Poor. Di antaranya, mengunjungi panti asuhan. Atau setidaknya mengingat kalangan yang tidak seberuntung kita. Mereka yang masih kesulitan untuk sekadar makan dan mencukupi kebutuhan dasarnya.

Sudah lebih dari dua bulan ini, saya juga sedang melakukan terapi versi saya. Ini saya lakukan agar saya lebih eling, lebih bisa menebar rasa kasih, lebih peduli, dan lebih menghargai seseorang tidak hanya dari status sosialnya. Rasa gemagus dan gemedhe yang sering tiba-tiba datang tak terkendali, pelan-pelan saya hilangkan. Saya juga sedang berlatih untuk selalu mengucapkan terima kasih. Walaupun sedang bete, bibir saya paksa agar mengeluarkan dua kata itu. Saya juga masih harus terus melatih senyum, agar wajah saya yang kata keponakan saya mengkereng, terlihat sedikit ramah dan enak dipandang.

Dalam rangka menjalankan terapi ini, saya meningkatkan frekuensi tebaran senyum saya kepada orang-orang yang sering berinteraksi dengan saya. Kalau dengan atasan, kolega dan kawan itu sudah pasti. Ini adalah kepada mereka yang, status sosialnya (teranggap) lebih di bawah kita. Kepada office boy di kantor, jika saya datang, saya usahakan selalu lebih dulu menyapa dia. Tentu dengan senyum. Lalu kepada sekuriti di kompleks kantor. Sekadar menanyakan sambil guyon, “Ngalamun ya Maaas?”, membuat mereka merasa dihargai.

Ucapan terima kasih dan senyum juga saya tebarkan ke mbak-mbak pramusaji yang melayani saya saat makan di kantin atau restoran. Kepada petugas ticketing saat saya mau antre naik busway atau kepada mbak-mbak yang ngasih tiket jika saya mau nonton film. Tak lupa kepada mbak-mbak di salon yang telah mencuci muka saya, sehingga membuat wajah saya sedikit enak dilihat. Tidak terlalu mengkereng lagi.

Tak ketinggalan jika saya sedang jalan-jalan ke mal. Dulu, saya sering merasa gemedhe jika taksi yang saya naiki, pintunya dibuka oleh door man atau sekuriti mal itu. Alih-alih mengucapkan terima kasih, saya langsung ngeloyor masuk ke mal, hanya untuk sekadar ngerumpi ketawa-ketiwi sambil ngufi-ngufi, yang secangkir harganya bisa untuk makan di warteg, sebanyak tiga kali makan itu. Tapi sekarang, saya sebisa mungkin mengucapkan terima kasih, yang tentu dengan, sekali lagi, senyum.

Agar saya sadar bahwa saya malas, sering ngeluh ini-ono, atau merasa kurang beruntung, saya terapi dengan bergegas pergi ke pasar. Yang gampang saya jangkau, jika bukan ke Pasar Ciputat ya ke Pasar Kebayoran Lama. Di pasar, saya temukan kalangan the Poor, seperti kata Mas Fauzi tadi. Penjual bumbon (bumbu dapur) mulai dari daun jeruk, daun salam, daun sereh dan segala rupa rempah-rempah, sering saya lihat terkantuk-kantuk di kala pagi hari. Pasti ia sudah begadang sejak dini hari.

Lalu ada kuli angkut dan pendorong gerobak yang berpeluh keringat atau penggiling bawang dan cabe yang harus menahan perih di mata. Tak terkecuali penjual tempe, cabe dan sayuran dengan gelaran di pinggir jalan yang harus rela memberikan iuran wajib kalau tidak mau digusur, kepada bapak-bapak berseragam dan beratribut tertentu.

Saya belajar dari mereka. Tentang semangat, tentang kerja keras dan tentang betapa berharganya rupiah demi rupiah yang mereka kumpulkan itu. Saya yang duduk-duduk manis di ruangan berdingin udara yang mak nyesss, kursi empuk, makan siang ada yang melayani, tapi kok ya masiiih saja menggerutu. Sering malas. Dari merekalah saya belajar untuk tidak malas.

Untuk mengakui betapa kecilnya saya di mata alam dan Tuhan sekaligus saya juga bisa belajar dari nelayan, saya pergi ke laut. Di sana terhampar betapa luasnya apa yang dicipta Tuhan. Tidak terkungkung dalam gedung-gedung pencakar langit, yang orang-orang yang bekerja di dalamnya sering monoton -- basa-basinya jadi bener-bener basi. Saya merasa kecil sekali jika sedang duduk termenung di laut luas sana.

Angin laut yang kadang datang semilir di senja hari, mendatangkan suasana relaksasi, melebihi ritual mandi uap yang biayanya jika saya ceritakan ke nelayan itu pasti ia akan terkekeh-kekeh. Dari nelayan, saya belajar arti kesabaran. Mereka melaut berpuluh-puluh jam, agar bisa membelikan susu buat si kecil, dan memberi ongkos ke sekolah buat yang besar. Nelayan juga mencitrakan apa adanya. Tak jarang mereka bertelanjang dada, sehingga tak perlu berganti-ganti busana mengikuti aturan dress code ini-itu, yang masih sering membuat saya saltum hingga salting itu.

Lain dengan kawan saya yang sekretaris, yang sering me-leverage dirinya sendiri. “Mas mas, jam tanganku yang ini harganya sekian juta lho bo! Aku beli dua warnaya beda, biar pas dengan warna blusku”, suatu hari ia pamer ke saya.

Beberapa waktu yang lalu, saya ada rapat sambil makan malam di sebuah hotel berbintang di daerah Bundaran HI. Karena kebanyakan minum ditambah ruangan yang dingin, saya perlu ke rest room. Di depan kaca besar dan wastafel yang terletak bersebelahan dengan jejeran kaum pria membuang hajat kecilnya, berdiri seorang mas-mas petugas hotel dengan senyum yang ramah. “Selamat malam Pak...”, ia menyapa saya ketika saya baru membuka pintu rest room itu.

Setelah saya selesai berkemih, saya ingin merapikan kemeja dan mematut diri di depan kaca itu. Dengan senyum yang masih mengembang, si mas-mas tadi menjulurkan sehelai handuk kecil hangat sambil menyapa saya, “Baru dinner Pak? Makanannya enak?” Ia terlihat begitu ikhlas mengerjakan tugasnya. Tapi dari sorot matanya, saya melihat dia sudah sangat lelah. Pasti ia bolak balik tidak hanya di seputaran rest room itu. Sambil mengembalikan handuk, saya mengucapkan terima kasih. Saya lupa kalau tidak dibilang kelewatan. Saya tidak memberikan tips ala kadarnya ke dia.

Gesture tubuh mas-mas yang luwes, respek dan menghormati itu, berbeda dengan saya tatkala di kantor. Jika minta difotokopikan suatu dokumen misalnya, saya kadang memerintah bak seorang komandan. Tidak bilang dengan nada minta tolong. Cukup berkata, “Fotokopi! Halaman satu sampai lima!”, dengan muka tidak seramah seperti mas-mas tadi, tapi diusahakan sok-sok berwibawa, sehingga agak-agak gimanaaa gitu.

Tapi kalau sekarang, dengan senyum dan gesture tubuh yang saya luwes-luweskan seperti mas-mas yang di rest room hotel itu, saya perhalus seperti ini, “Tolong Mas Tris, saya dibatu fotokopi. Kalau sutra, taruh di meja saya. Terima kasih ya Maaas...” [kmp]

2 Comments:

At 11:07 PM, Anonymous Anonymous said...

jangan dikasih senyum saja dong mas, kasih duit juga lah, pasti the poor nya lebih senang dan mas kun dapat berkahnya. :D

 
At 5:29 AM, Blogger Cucinol House said...

aslamlkm...
hay om...wah bagus sekali ceritanya..ya memang seperti itu seharusnya, dalam aktifitas om yang sangat padat butuh penyegaran,cara terbaik adalah dengan senyum dan berbuat baik dengan orang lain...banyak orang yang mengalami krisis diri...karena mereka memiliki ego yang sangat tinggi..good luck dech om...semangat dan selalu tebarkan senyum dengan siapa pun itu...

 

Post a Comment

<< Home

New Page 1