Hawa Baik di Tahun Baru

Mengisi liburan panjang akhir tahun ini, selain menyempatkan beres-beres rumah—dari mulai ngepel, ngelap debu di rak buku, nempelin kliping dan nyetrika—saya menghabiskan waktu dengan nonton dua film. Yang pertama, melihat ketangguhan akting Mbak Dian Sastro, yang berperan sebagai Dona Satelit, penyanyi dangdut pasar malam, di film 3 Doa 3 Cinta itu. Yang kedua, memenuhi rasa ingin tahu cerita komik yang diadaptasi menjadi sebuah film, saya menyaksikan aktor senior yang pintar bermain watak, Samuel L. Jackson, dalam film The Spirit.

Baik Mbak Dian maupun Pak Jackson, di film mereka masing-masing, bukan berperan sebagai tokoh alim, kalem, baik hati dan tidak sombong. Mbak Dian sebagai Dona, selain berpenampilan sensual dalam setiap aksi panggungnya, ia juga matre karena selalu minta uang ke Huda hanya karena Huda butuh informasi keberadaan ibunya. Huda, yang sejak masih piyik dibuang ibunya ke sebuah pondok pesantren, diperankan dengan sangat alim oleh Mas Nicholas Saputra.

Pak Jackson jahat sekali. Sebagai tokoh bengis bernama Octopus, ia ingin hidup abadi. Ia juga ingin kaya raya, sebagai bandar narkoba kelas tinggi, lengkap dengan laboratorium yang bisa mencipta “orang”, hanya dengan meng-klon mereka. Wajah, mata, alis, mulut, semuanya sama. Di akhir film, seperti film-film jagoan lainnya, Pak Jackson tentu harus mati. Spirit, nama panggilan sang jagoan, berhasil menghancurkan Octopus ini, dengan sebuah granat yang ia bawa.

Di sela-sela waktu menunggu filmnya Pak Jackson diputar, di lobby gedung bioskop yang amat luas itu, saya lihat sepasang manusia yang berbeda jauh umurnya dengan saya. Mungkin mereka sekitar enam puluh tahunan, atau bahkan lebih. Mereka adalah tuan dan nyonya, yang sedang menyaksikan cuplikan-cuplikan film, yang sliwar-sliwer di delapan monitor layar datar, lengkap dengan jadwal pertunjukan di hari itu.

Kebetulan saya sendiri sudah mengantongi tiket, sehingga saya tinggal duduk saja sambil menyaksikan lalu lalang pengunjung yang semua memancarkan mimik kegembiraan itu. Tak ada wajah bete di antara mereka, yang sering saya temui jika saya sedang mengantre tiket busway, atau saat saya berdiri menahan pegel, menunggu mbak-mbak teller memanggil saya di sebuah bank.

Sepasang manusia lanjut usia itu, mempertontonkan gesture tubuh yang luwes, serasi, helpful, dan saling melengkapi. Mereka bergandengan tangan. Terlihat sekali mereka saling mengasihi. Tak jarang keduanya menunjukkan jari telunjuk mereka, ke monitor layar datar yang terpajang rapi di di atas lobby itu. Saya melihat mereka mengobrol, yang tak jarang diselingi senyum dan tawa kecil di antara keduanya.

Akhirnya, sang nyonya mengambil dua lembar uang lima puluh ribuan dari dompet yang ia tenteng, dan menyerahkannya ke sang tuan. Beriringan, mereka menuju loket penjualan tiket. Perhatian saya terputus, karena saya harus segera masuk auditorium. Filmnya Pak Jackson segera mulai. Saya tidak tahu mereka menonton film yang mana. Mungkin, kalau tidak Bolt, mereka ingin nonton film Madagascar, yang keduanya film kartun, dan pasti akan membuat mereka tertawa terkekeh-kekeh.

Baik dan Jahat

Di Hari Natal kemarin, untuk menjaga silaturahmi, saya mengirim surel (surat elektronik, email) ucapan natal ke seorang kolega, yang sebagian isinya saya tulis begini, “Semoga dalam damai dan kasih Tuhan, kita senantiasa mendapatkan petunjuk dan jalan yang lapang dalam meniti kehidupan yang penuh tanda tanya”.

Mengutip seorang suster yang pernah menjadi gurunya, kolega saya membalas, “Saat ini kita hidup dalam alam di mana hawa jahat sedang berkuasa. Tapi, percayalah, pada masanya hawa baik akan selalu ada, dan ia yang akan balik berkuasa”.

Saya merenungkan balasan surel dari kolega saya itu. Saya melamun, membayangkan, apakah betul di negeri ini yang sedang berkuasa adalah hawa jahat dan bukan hawa baik. Jika yang menjadi petunjuk hawa jahat misalnya adalah, orang makin tidak merasa bersalah untuk menindas orang yang lainnya, betul juga adanya. Lalu, jika hawa jahat itu diukur dengan makin lebarnya jarak antara si miskin dan si kaya, tidak keliru juga adanya.

Jika hawa jahat itu diukur dengan makin gampangnya pemimpin negeri melupakan janji-janji untuk menyejahterakan rakyatnya, kok ya tidak salah memang begitulah kondisinya. Lalu jika hawa jahat ditunjukkan dengan banyaknya angka kriminalitas di Jakarta, orang semua tahu adanya. Tiap hari koran menulisnya di halaman utama.

Kembali ke film Spirit dan 3 Doa 3 Cinta itu. Kalau di filmnya Pak Jackson sebagai tokoh Octopus ia harus mati, di film 3 Doa 3 Cinta, yang menceritakan pernak-pernik kehidupan pondok pesantren itu, ada tokoh Syahid, sahabat dekatnya Huda, yang memberikan teladan buat kita.

Dengan lugunya, Syahid (dalam sebuah obrolan dengan Huda dan seorang kawan mereka, Rian) bilang, “Sesuai namaku Syahid, aku ingin menjadi seorang yang mati syahid. Lalu masuk surga”. Tapi akhirnya Syahid sadar, bahwa pilihan hidup yang ia tempuh (mengartikan mati syahid dengan menjadi seorang muslim garis keras dan melawan kafir-kafir Amerika) adalah keliru. Hawa jahat dengan melawan orang-orang yang ia anggap sebagai musuh, akhirnya pupus.

Kini tahun 2008 akan segera berlalu. Kalender Hijriyah pun demikian. Tahun 1430 sudah di depan mata. Lembaran dan babak kehidupan akan segera berganti. Saya membayangkan dan berharap, di tahun depan, hawa baik makin terasa. Kehidupan dengan rasa saling mengasihi, mengedepankan cinta, tumbuh dan terus berkembang. Kalau bisa, tanpa henti.

Seperti tuan dan nyonya di gedung bioskop itu. Sampai usainya hidup mereka nanti. (*) Ciputat, 28/12/2008

 

Visit the Poor

Saya sedang berlatih mengikuti piwulang Mas Fauzi Ichsan, ekonom cemerlang dari sebuah bank asing terkenal, yang putera dari perancang senior, Ibu Poppy Dharsono itu. Kata Mas Fauzi dalam sebuah wawancara majalah gaya hidup pria, jika ia sedang stres, salah satu terapinya (yang saya jadikan judul tulisan saya kali ini) adalah Visit the Poor. Di antaranya, mengunjungi panti asuhan. Atau setidaknya mengingat kalangan yang tidak seberuntung kita. Mereka yang masih kesulitan untuk sekadar makan dan mencukupi kebutuhan dasarnya.

Sudah lebih dari dua bulan ini, saya juga sedang melakukan terapi versi saya. Ini saya lakukan agar saya lebih eling, lebih bisa menebar rasa kasih, lebih peduli, dan lebih menghargai seseorang tidak hanya dari status sosialnya. Rasa gemagus dan gemedhe yang sering tiba-tiba datang tak terkendali, pelan-pelan saya hilangkan. Saya juga sedang berlatih untuk selalu mengucapkan terima kasih. Walaupun sedang bete, bibir saya paksa agar mengeluarkan dua kata itu. Saya juga masih harus terus melatih senyum, agar wajah saya yang kata keponakan saya mengkereng, terlihat sedikit ramah dan enak dipandang.

Dalam rangka menjalankan terapi ini, saya meningkatkan frekuensi tebaran senyum saya kepada orang-orang yang sering berinteraksi dengan saya. Kalau dengan atasan, kolega dan kawan itu sudah pasti. Ini adalah kepada mereka yang, status sosialnya (teranggap) lebih di bawah kita. Kepada office boy di kantor, jika saya datang, saya usahakan selalu lebih dulu menyapa dia. Tentu dengan senyum. Lalu kepada sekuriti di kompleks kantor. Sekadar menanyakan sambil guyon, “Ngalamun ya Maaas?”, membuat mereka merasa dihargai.

Ucapan terima kasih dan senyum juga saya tebarkan ke mbak-mbak pramusaji yang melayani saya saat makan di kantin atau restoran. Kepada petugas ticketing saat saya mau antre naik busway atau kepada mbak-mbak yang ngasih tiket jika saya mau nonton film. Tak lupa kepada mbak-mbak di salon yang telah mencuci muka saya, sehingga membuat wajah saya sedikit enak dilihat. Tidak terlalu mengkereng lagi.

Tak ketinggalan jika saya sedang jalan-jalan ke mal. Dulu, saya sering merasa gemedhe jika taksi yang saya naiki, pintunya dibuka oleh door man atau sekuriti mal itu. Alih-alih mengucapkan terima kasih, saya langsung ngeloyor masuk ke mal, hanya untuk sekadar ngerumpi ketawa-ketiwi sambil ngufi-ngufi, yang secangkir harganya bisa untuk makan di warteg, sebanyak tiga kali makan itu. Tapi sekarang, saya sebisa mungkin mengucapkan terima kasih, yang tentu dengan, sekali lagi, senyum.

Agar saya sadar bahwa saya malas, sering ngeluh ini-ono, atau merasa kurang beruntung, saya terapi dengan bergegas pergi ke pasar. Yang gampang saya jangkau, jika bukan ke Pasar Ciputat ya ke Pasar Kebayoran Lama. Di pasar, saya temukan kalangan the Poor, seperti kata Mas Fauzi tadi. Penjual bumbon (bumbu dapur) mulai dari daun jeruk, daun salam, daun sereh dan segala rupa rempah-rempah, sering saya lihat terkantuk-kantuk di kala pagi hari. Pasti ia sudah begadang sejak dini hari.

Lalu ada kuli angkut dan pendorong gerobak yang berpeluh keringat atau penggiling bawang dan cabe yang harus menahan perih di mata. Tak terkecuali penjual tempe, cabe dan sayuran dengan gelaran di pinggir jalan yang harus rela memberikan iuran wajib kalau tidak mau digusur, kepada bapak-bapak berseragam dan beratribut tertentu.

Saya belajar dari mereka. Tentang semangat, tentang kerja keras dan tentang betapa berharganya rupiah demi rupiah yang mereka kumpulkan itu. Saya yang duduk-duduk manis di ruangan berdingin udara yang mak nyesss, kursi empuk, makan siang ada yang melayani, tapi kok ya masiiih saja menggerutu. Sering malas. Dari merekalah saya belajar untuk tidak malas.

Untuk mengakui betapa kecilnya saya di mata alam dan Tuhan sekaligus saya juga bisa belajar dari nelayan, saya pergi ke laut. Di sana terhampar betapa luasnya apa yang dicipta Tuhan. Tidak terkungkung dalam gedung-gedung pencakar langit, yang orang-orang yang bekerja di dalamnya sering monoton -- basa-basinya jadi bener-bener basi. Saya merasa kecil sekali jika sedang duduk termenung di laut luas sana.

Angin laut yang kadang datang semilir di senja hari, mendatangkan suasana relaksasi, melebihi ritual mandi uap yang biayanya jika saya ceritakan ke nelayan itu pasti ia akan terkekeh-kekeh. Dari nelayan, saya belajar arti kesabaran. Mereka melaut berpuluh-puluh jam, agar bisa membelikan susu buat si kecil, dan memberi ongkos ke sekolah buat yang besar. Nelayan juga mencitrakan apa adanya. Tak jarang mereka bertelanjang dada, sehingga tak perlu berganti-ganti busana mengikuti aturan dress code ini-itu, yang masih sering membuat saya saltum hingga salting itu.

Lain dengan kawan saya yang sekretaris, yang sering me-leverage dirinya sendiri. “Mas mas, jam tanganku yang ini harganya sekian juta lho bo! Aku beli dua warnaya beda, biar pas dengan warna blusku”, suatu hari ia pamer ke saya.

Beberapa waktu yang lalu, saya ada rapat sambil makan malam di sebuah hotel berbintang di daerah Bundaran HI. Karena kebanyakan minum ditambah ruangan yang dingin, saya perlu ke rest room. Di depan kaca besar dan wastafel yang terletak bersebelahan dengan jejeran kaum pria membuang hajat kecilnya, berdiri seorang mas-mas petugas hotel dengan senyum yang ramah. “Selamat malam Pak...”, ia menyapa saya ketika saya baru membuka pintu rest room itu.

Setelah saya selesai berkemih, saya ingin merapikan kemeja dan mematut diri di depan kaca itu. Dengan senyum yang masih mengembang, si mas-mas tadi menjulurkan sehelai handuk kecil hangat sambil menyapa saya, “Baru dinner Pak? Makanannya enak?” Ia terlihat begitu ikhlas mengerjakan tugasnya. Tapi dari sorot matanya, saya melihat dia sudah sangat lelah. Pasti ia bolak balik tidak hanya di seputaran rest room itu. Sambil mengembalikan handuk, saya mengucapkan terima kasih. Saya lupa kalau tidak dibilang kelewatan. Saya tidak memberikan tips ala kadarnya ke dia.

Gesture tubuh mas-mas yang luwes, respek dan menghormati itu, berbeda dengan saya tatkala di kantor. Jika minta difotokopikan suatu dokumen misalnya, saya kadang memerintah bak seorang komandan. Tidak bilang dengan nada minta tolong. Cukup berkata, “Fotokopi! Halaman satu sampai lima!”, dengan muka tidak seramah seperti mas-mas tadi, tapi diusahakan sok-sok berwibawa, sehingga agak-agak gimanaaa gitu.

Tapi kalau sekarang, dengan senyum dan gesture tubuh yang saya luwes-luweskan seperti mas-mas yang di rest room hotel itu, saya perhalus seperti ini, “Tolong Mas Tris, saya dibatu fotokopi. Kalau sutra, taruh di meja saya. Terima kasih ya Maaas...” [kmp]

 

Lapar Mata

"Mas, elo tuh ya, ngisin-ngisini deh. Makan gak dikontrol. Ambil mbok ya...yang sewajarnya. Tau gak, elo tuh lebay!", mitra kerja saya di sebuah tim yang usianya lima tahun lebih muda dari saya, menegur saya dengan ketus, hingga membuat bibir saya mak klakep. Terkunci. Saya enggak mampu membalas cibirannya yang bagai petir di siang bolong itu. Saya duduk mematung.

Kejadian itu terjadi minggu kemarin, saat kami dinner meeting (ini bahasa mitra saya itu; kalau saya ya...rapat sambil makan malam) di sebuah resto hotel berbintang, yang pernah menjadi sasaran bom teroris, beberapa tahun lalu.

Biasanya, kalau makan siang sambil rapat, saya jarang banget nyisani. Walaupun, restonya tidak kalah dengan yang di hotel tempat kami makan malam itu. Tapi entah, saat makan malam sambil rapat bersama klien dan mitra kerja saya, waktu itu saya selalu saja nyisani. Hampir setiap mbakyu dan kangmas pramusaji datang ke meja kami untuk mengambil peralatan makan yang sudah terpakai, ada saja sisa gigitan daging, bongkahan brokoli, atau rupa-rupa makanan lainnya yang tersisa di piring atau mangkuk yang ada di depan saya.

Mungkin karena semua kitchen saya datangi, lalu saya icip-icip, sehingga setiap habis mengambil makanan dan saya santap di meja, perut saya tidak bisa menampung lagi. Karena sebenarnya saya sudah kenyang. “Itu karena rasa lapar Mas bukan di pertiwi tapi di mata bo!”, mitra saya tadi, melengkapi tegurannya, dengan volume suara yang lebih pelan, tidak seperti waktu di awal menegur saya. Yang ini bukan ibu pertiwi, tapi perut maksudnya.

Memang resto tempat kami makan malam itu sudah terkenal sangat lengkap menunya. Hampir semua jenis makanan ada. Dari makanan ala negeri sakura, Londo, China, hingga masakan nusantara dan masakan ala "nehi-nehi" yang saya melihatnya saja sudah enek. Sudah kental, butek lagi.

Mungkin karena saya sudah gawan bayen, saking laparnya, malam itu begitu saya datang, yang saya cari nasi dan aneka lauk pauknya. Ya karuan saja saya langsung terkenyang-kenyang. “Kun, itu karena elo menikmati makanan yang endang bambang bo!”, pagi hari besoknya, teman di kantor mengomentari saya, perihal terkenyang-kenyangnya saya. Yang ini, enak banget maksud diana. Eh, maksud dia.

Lapar Mata yang Lainnya

Kawan saya yang seorang sekretaris, pernah bercerita perihal tagihan kartu kredit dia yang membengkak. Karena ya lapar mata itu. Lapar pengin blenja-blenji maksudnya. Beli sesuatu tidak memikirkan terlebih dulu. Maruk. Kata dia, jika ada mid night sale di berbagai mal yang kini marak, dengan cekatan kedua tangannya mengambil baju, kaus, celana dan aksesoris yang katanya terdiskon up to 70% itu.

Kecepatan tangannya tidak kalah saat ia sedang mengetik dan mengangkat telepon -- membuatkan janji rapat ini-itu untuk bosnya. Dia baru sadar telah lapar mata, kalau sudah sampai rumah. Ternyata kaus warna ini, cutting begini, model begini, corak begono sudah punya. Bros yang ini, mirip dengan yang ono. “Kun, gue emang nefsong bo. Secara branded, diskonnya gila-gilaan”, sambil ada perasaan mengeluh, ia ngedumel ke saya.

Begitu pun untuk koleksi aksesoris dia. Sudah punya warna hitam, pengin yang cokelat, terus yang merah dan seterusnya. Jika dijejer mungkin mirip warna pelangi. Ini baru satu item tas. Belum sepatu, giwang, jam tangan, wuih...ini baru printil-printil yang kecil. Belum yang sedikit muahal, kayak barang elektronik. Dia sudah punya HP yang ada satu kamera, beli yang dua kamera. Katanya agar bisa ngomong berdua dengan saling melihat wajah pria impiannya, bak film Flash Gordon yang saya tonton di tivi hitam putih, waktu saya SD dulu.

Jangan Tergoda

Kita sering merasakan keinginan yang kuat untuk memiliki sesuatu dengan belanja, padahal itu tidak terlalu penting-penting amat. Mungkin Anda pernah dengar cerita ini--entah ini benar atau hanya rekaan. Orang-orang di sebuah kampung karena melonjaknya komoditas yang mereka tanam, mereka beramai-ramai membeli perangkat-perangkat elektronik yang jelas, memerlukan setrum itu. Tapi saat di bawa pulang ke rumah, ternyata jaringan listrik di daerah mereka belum ada. Atau kalau pun ada, watt-nya tidak kuat. Ya...terpaksa kulkasnya jadi lemari pakaian, dan tivi berwarnanya hanya jadi pajangan.

Sejatinya tanpa kita sadari (yang karena memang secara naluri keinginan manusia itu tak terbatas), mungkin kita sering membelanjakan sesuatu yang tidak pada porsinya. Dulu, guru PKK (Pendidikan Kesejahteraan Keluarga) saya waktu sekolah SMP mengajarkan, dalam membelanjakan sesuatu, kita harus tepat waktu, tepat guna, dan efisien. Tepat waktunya, di kala ada uang (atau akan mampu membayar jika memberli dengan mencicil). Tepat guna ya...sesuai dengan fungsinya saja. Efisien, ya kalau misalnya beli busana ya yang gampang dipadupadankan dengan yang lainnya, yang sudah ada.

Teman saya yang sekretaris itu, masih ngeyel ke saya, “Mas mas, lapar blenja-blenji begini enggak apa-apa. Sudah pengin satu masih beli yang lain. Dari pada kayak penceramah kondang yang sudah punya isteri masiiih saja nyari isteri yang lain?”.

Ia menambahkan sambil menyindir, “Kalo elo harus kayak penceramah kondang itu belum bisa kaaan? Lha secara panjenengan satu isteri ajjja belum neeek...”

(Ciputat, 291108)




 

Olah Tubuh

Saya ini orangnya hangat-hangat suam kuku. Eh...hangat- hangat txx ayam maksudnya. Cepat bosan. Perasaan dan sifat cepat bosan ini, khusus yang menyangkut olah tubuh. Mulai dari aktivitas jalan kaki, berlari, de el el semua yang berbau olah raga.

“Kalau olah-mengolah tubuh yang lain nggak ada bosannya ya jeung…? Menggoreng ayam maksudnya !”, tutur teman saya ketika saya curhat tentang sifat cepat bosan saya.

Jika saya sudah bosan, maka perasaan bosan ini bisa meningkat kadarnya menjadi sifat malas. Ini yang lebih parah. Dorongan untuk “mau” dan “gak usah” berolah raga, selalu berkejaran seperti rebutan angka pada pertandingan Piala Thomas kemarin yang kita harus dirundung duka—karena gagal ke babak final.

“Ayo Kun !”, selalu berkejaran dengan “Gak usah Maa...s”. Syaraf-syarat penggerak perintah di sistem metabolisme tubuh saya, seolah-olah berteriak, memekakkan gendang telinga saya, yang rutin saya korek-korek pakai cotton buds sehabis papung malam hari, karena keseringan saya sumpel earphone, agar selalu bisa mendengarkan Terima Kasih Cinta-nya Afgan itu.

Dulu, saya pernah hampir rutin—hampir, jadi belum rutin—, berlari dan joggang-jogging, di kawasan Senayan. Stadion Gelora Bung Karno (GBK), yang saya datangi selepas pulang kerja bersama dengan teman-teman saya, mengingatkan saya pada sosok Sinyo Aliandoe. Ia adalah pelatih Tim Sepak Bola Indonesia pada kejuaraan Pra Piala Dunia, yang kipernya Hermansyah, lalu ada juga Rully Nere.

Saat itu tahun 80-an, saya masih SD, dan tivi yang saya tonton layarnya masih hitam putih. Setrumnya pakai aki pula. Tahun itulah, saya pertama kali tahu Stadion GBK, yang saat itu bernama Stadion Utama Senayan.

“Aduh Maas...sampeyan larinya dua kali, tapi makan ketupatnya dua piring pula. Biar impas ya Maa...s...”, goda teman saya, saat kami sedang ngaso, setelah ngos-ngosan berlari-lari muterin stadion.

Saya balas, “Yang penting keluar cairan bo ! Lagian seru, rame-rame”. Keluar keringat maksudnya.

“Kalau keluar-mengeluarkan cairan yang lain sampeyan sendirian ya Maa...s ? Menangis maksudnya”, goda kawan saya lagi.

Stadion GBK ini, memang tempat yang selalu dipenuhi penjaja makanan. Ada ketupat sayur, ketoprak, mi ayam, bakso, siomay, sampai tempe mendhoan. Semuanya serba murah meriah. Sesekali, sehabis lari, kami menyewa lapangan tenis, yang kadang juga dilanjutkan berenang. Tapi, itu cerita dulu.

Pernah juga bersama teman-teman kerja saya, rutin, menyewa lapangan tenis di WTC Sudirman. Seingat saya, tamplek-tamplekan bola tenis itu paling hanya berjalan enam bulan. Saya juga pernah mencoba fitness, tapi malah lebih sebentar. Nggak lebih dari tiga bulan. Bayarnya mahal, waktunya sempit. “Sini rugi sana yang untung neeng...”, batin saya. Sekali lagi, itu dulu.

Karena sifat saya yang hangat-hangat tadi, kini semangat untuk berolah tubuh sedang bersemi kembali. Berseminya kembali semangat saya, lebih karena ditakut-takuti—bukan karena inisiatif saya murni. Kata teman saya yang menakut-nakuti, orang yang jarang mengeluarkan keringat alias berolah tubuh, kemungkinan meninggalkan dunia yang sedang lucu tur amburadul ini, lebih cepat dibandingkan dengan mereka yang giat dan rajin berolah raga.

Jujur, saya takut sekali jika harus periksa ke dokter. Sana-sini nyuruh saya general medical check up, tapi saya malah kuatir. Takut ketahuan penyakitnya, jadinya saya stres tur ketar-ketir. Malah bisa-bisa itu memperbesar kadar penyakit saya. Lha wong....katanya biar nggak sakit itu, simpel. Jauhi stres, dan sempatkan berolah raga. Saya yang secara terlahirkan sebagai orang melankolis tur gampang panik, pasti jadinya tambah stres jika mengetahui penyakit itu.

“Lha wong cek tekanan darah, gula darah, kadar kolesterol, dan asam urat yang simpel tur murah dan tersedia di gerai-gerai apotek di pusat belanja saja saya mesti dipaksa, bagaimana kalau saya harus general check up. Ntar dulu neeng...”, batin saya.
Yang Penting Keluar Keringet

Kembali tentang olah raga. Kini saya pilih mengolah tubuh lagi—bukan dengan mengikuti yoga atau golf, yang keduanya seolah-olah olah raga milik kaum eksekutif. Bukan pula futsal atau basket yang kini marak berada indoor di pusat-pusat belanja. Bukan pula bersepeda biar kelihatan sebagai anggota sebuah klub sepeda yang peduli lingkungan untuk mengurangi efek pemanasan global. Saat ini saya hanya jalan kaki, sesekali berlari, dan jogging-menjogging seperti dulu lagi. Kegiatan ini saya lakukan paling tidak dua kali dalam seminggu.

“Kalau bangunnya kesiangan, jogging nya diganti ngepel lantai dan bersihin rumah ya bo ?”, sindir tetangga saya yang rajin bermain futsal.

Sebelum mulai berlari pagi, biasanya saya pemanasan tolah-toleh sebentar, leher putar kiri-kanan, dilanjutkan sit up dan push up. Itu saya lakukan masih di rumah. Urusan angkat mengangkat tubuh sendiri, saya agak kedodoran. Letoy. Kegiatan duduk-menduduk—bukan menduduki—sambil bekerja di kantor, membuat lemak-lemak makin menumpuk di pinggang dan perut saya. Tapi apa boleh buat, usia tak bisa ditampik.

“Setelah usia melewati dua puluhan, pertumbuhan badan bukan ke atas, tapi menyamping Maa...s !”, cerita kawan saya yang seorang dokter dan kini tubuhnya sedikit tambun. Lha sekarang, usia saya tiga puluh pun telah lebih. Ya…semakin ke samping dong. Melebar maksudnya. Tambah tembem, tambah gembul, tur tambah bun…xxx.
Lari pagi saya lakukan di sebuah areal parkir pusat belanja, yang kebetulan bukanya lebih pagi.

Saat ini tempat tinggal saya di kawasan Ciputat kebetulan tidak terlalu jauh dari pusat belanja ini. Sekali berkeliling, mungkin ada sekitar dua kilo jaraknya. Lumayan. Satu jam cukup, dari jam enam sampai tujuh pagi. Tenang, dan tidak terlalu banyak lautan manusia seperti di Senayan, yang diantaranya bukan beritikad olah raga tapi hanya sekadar cuci mata.

Kini sifat hangat-hangat saya tidak perlu dirisaukan lagi. Seorang dokter ahli akupuntur yang seorang keturunan tapi bahasanya alus seperti priyayi Solo, bilang bahwa kita tidak perlu ngoyo olah raga yang berat-berat. Yang penting tiap hari kita keluar keringat. Bocoran ini saya dengar dari kolega saya yang baru saja berkonsultasi dengan dokter yang mempunyai beberapa klinik itu.

Kolega saya menambahkan, “Kun, elo tahu singa. Dia itu kuat perkasa, karena tiap pagi ngulet dan melakukan peregangan. Keempat kakinya dijulurkan, leher dikibas-kibaskan. Kita cukup deh, sempatkan seperti itu. Ringan kan ?”.

“Tapi kan secara sini bukan singa Maa....s...”, tukas saya . (*)

Bagaimana agar tiap hari keluar keringat ?

  1. Kalau mengambil sesuatu/barang, kembalikan lagi pada tempatnya.
  2. Bangun tidur, rapikan ranjang dan ruangan sekitar kita beristirahat. Jangan terlalu mengandalkan pada pembokat.
  3. Sebelum minum beberapa gelas air putih setelah bangun, goyangkan seluruh tubuh, termasuk leher, tangan, area pinggul dan yang lain. Seorang kawan di milis ini mengajarkan tentang “gerakan menggetar tradisi Cina”. Itu sangat dianjurkan.
  4. Jangan malas untuk berjalan kaki. Misalnya mengandalkan OB untuk membelikan makan siang di kantor.
  5. Jalan kaki di dalam rumah atau halaman. Ingat pelajaran olah raga di SD kita disuruh jalan di tempat kan ?
  6. Kalau poin satu sampai lima masih susah kita lakukan, paling tidak NGULET-lah setiap hari. Sesaat setelah kita bangun tidur.
*****


Instan

Di tulisan ini, saya bukan ingin bercerita tentang mi, bumbu nasi goreng, aneka bumbu dapur—mulai dari lada, garam, ketumbar de el el—instan, yang selalu tercantum dalam daftar belanja bulanan saya. Bukan pula tentang bubur berbagai rasa, beberapa jenis daging olahan, yang juga instan, dan masih tercantum dalam daftar belanja saya. Saya sebenarnya ingin menulis tentang budaya dan perilaku instan.



Saya perlu makanan yang instan-instan, karena semuanya harus saya kerjakan sendiri. Pun, waktu seolah-olah masih selalu ingin mengejar-ngejar saya. Baru bangun tidur, saya sudah harus membuat nasi goreng misalnya. Bayangkan jika saya harus seperti ibu saya di kampung yang harus meracik cabe, garam, bawang merah, bawang putih, sedikit ebi, terus diulek. Wow...sereeem...saya pasti mandinya tergesa-gesa. Waktu membersihkan daki di sekujur tubuh saya berkurang hanya karena nasi goreng.

Saat ini, untuk memasak nasi goreng, saya hanya perlu sesendok bumbu instan. Ditambah telur atau sosis, ya sudah langsung selesai. Memang, karena instan, rasa dan gurihnya mungkin tidak seenak dengan yang alami dan masih segar.

Urusan makan-memakan ini, sesungguhnya adalah topik obrolan kegemaran saya dan kawan saya, jika sedang leyeh-leyeh sehabis makan siang di kantor. Minggu ini nyoba makanan ini, minggu depan nyicip makanan ono. Perihal cicip-mencicip ini, saya kerap terprovokasi oleh milis yang isinya hanya ngobrolin makanan...aja.

“Daripada benjol ngobrol yang serius, mendingan nggosip makanan aja ya Maaas”, salah seorang teman saya, yang memang hobi berat makan bin ngemil, Jumat kemarin, seolah ngasih saran ke saya, ketika saya curhat tentang 100 Tahun Kebangkitan Nasional, tapi kondisi bangsa kian amburadul saja. Jadilah Jumat kemarin kami nyoba Bubur Ayam Barito, yang terkenal itu.

Demam Instan

Tulisan tentang “kembaran” Ian Kasela di KOMPAS beberapa waktu yang lalu, masih tercantum dalam daftar memori saya. Otak saya yang biasanya saya reserve hanya untuk mengingat yang penting-penting saja (misalnya saya tidak harus mengingat tanggal dan hari ini karena saya anggap hanya menuh-menuhin kapasitas memori otak saya dan toh, bisa saya tanya ke teman saya), kok ya...malah bisa mengingat tulisan ringan tentang Ian Kaselo itu.

Bicara tentang memori otak, saya sudah “menitipkan” sebagian memori otak saya pada kotak kecil seukuran tempe mendhoan, yang tiap hari menemani saya. Mungkin kegiatan titip-menitip memori otak ini, hampir dilakukan semua orang sekarang. Kalau soal tanya-menanya, Mbah Google dengan setia akan menemani kita.

Kembali tentang Ian Kaselo. Karena kepincut ikutan ajang kontes menyanyi instan di televisi, Ian, pemuda kampung yang pandai bernyanyi—yang sempat sangat populer saat kontes masih berlangsung—harus mengalami nasib apes bin sial. Hidupnya penuh konflik, karena mendadak menjadi sosok pesohor yang terkenal. Di satu sisi masyarakat di kampung sudah telanjur mengenal dia sebagai artis di televisi saat kontes masih berlangsung, tapi di sisi yang lain, tatkala ia sudah tersisih, semuanya usai.

Konon, menurut tulisan di KOMPAS itu, apa yang ia punya habis terjual, demi membiayai “bom”—kirim SMS untuk mengatrol agar dirinya tidak tersisih. Tapi, nasib mujur belum berpihak padanya. SMS ke dia kalah jumlahnya dibandingkan kiriman SMS ke kontestan yang lainnya. Imajinasi kesuksesan instan itu akhirnya hanya menjadi sebuah ilusi.

Perlu Proses

Demam instan-menginstan ini, telah merebak ke hampir semua sendi kehidupan. Dari urusan administrasi, sampai keamanan dan makanan seperti di awal tulisan saya. Juga dalam karir dan pekerjaan. Saat ini, banyak anak muda dan sarjana yang baru lulus kuliah, pengin mendapatkan sesuatu yang serba instan. Serba cepat dan mudah. Pengin segera punya ini-ono, tanpa melihat situasi, kondisi, dan posisi saat ini. Lha wong karyawan biasa ya...jangan harap berfasilitas direksi. Lha wong baru mulai bekerja ya...jangan harap langsung mendapatkan fasilitas rumah, mobil, dan segala kemudahan yang lainnya—mulai dari fasilitas komunikasi dan pelesiran ke sana-sini.

“Kerja keras dan banting tulang”, adalah nasihat buat diri saya jika saya sedang curhat ke teman dekat saya, mengapa hidup saya masih begini. Saya masih belum bisa jalan-jalan menyenangkan diri saya, ke tempat-tempat yang ingin saya kunjungi. Saya juga belum bisa mengganti komputer saya dengan versi tercanggih, yang saya bisa memindahkan tulisan saya, dalam sekeping piringan digital, yang bernama CD itu. Saat ini saya juga belum bisa mengganti perangkat digital—tempat “penitipan” sebagian memori otak saya sekaligus tempat untuk berhola-halo—dengan versi paling gres yang saya bisa ngobrol, sekaligus bisa memandangi wajah teman dekat saya, jika saya sedang rindu dengan dia.

Cerita saya itu adalah sebagian dari keinginan manusia, yang bisa jadi akan menjadikan saya berperilaku instan—tidak sesuai dengan kaidah dan aturan. Saya bisa saja tergoda untuk berbuat culas dan curang, demi memenuhi nafsu dan keinginan saya. Mulai dari mencuri sebagian waktu di kantor untuk kegiatan bisnis sambilan, sampai dengan memanipulasi angka kontrak dengan klien. Dalam perilaku, instan itu temannya nipu, nyolong, nyuri, de el el. Itu terjadi jika saya tidak mampu mengendalikan diri. Syukur, saya masih bisa mengendalikan diri, dan juga nafsu.

“Kalo nafsu yang lain susah ya bo...! Maksudnya, nafsu makan, minum, ngemil, nonton...de el el !”, celetuk teman saya.

“Ya eya lah ! Masa ya eya dong. Termasuk nafsu untuk belai-membelai ya bo ? Membelai Jason, anjing elo maksudnya...Paling-paling, nyuri-nyuri waktu di kantor buat nggosip di milis !” timpal saya ke teman saya yang hobinya memelihara anjing itu.

Yang instan itu kurang enak, kurang pas, dan mungkin terlalu dipaksakan. Kamis kemarin, karena masih ngiler dengan nasi pecel yang belum saya coba, saya makan siang di warung Bu Marni di belakang PIM 2, yang berjarak hanya sepelemparan batu dari tempat saya bekerja.

Saat itu saya merasakan enaknya makan tempe goreng, hingga saya sampai menghabiskan lebih dari empat potong tempe, yang saya santap dengan cocolan sambal kecap dan potongan cabe rawit. Tempe itu masih panas, karena saat saya datang, baru di-cemplungin ke penggorengan. Rasanya mirip dengan gorengan ibu saya jika saya sedang pulang kampung. Kata Bu Marni, rahasianya ada di biji ketumbar yang bikin gurih bin nylekamin itu. “Kalau di-ulek langsung, keringet nya ke luar Mas...! Jadi lebih gurih !”, tuturnya.

“Oooo...begono. Kalo saya hanya tak taburin bumbu aja Bu. Pantesan kurang gurih ya !”, saya ceritakan ke Bu Marni perihal bumbu instan itu.

“Pake keringet segala”, batin saya, sambil membayangkan saya harus beli cobek dan ulekan, agar bisa ngulek seperti Bu Marni, sehingga saya bisa menggoreng tempe dengan lebih gurih dan berasa.

Sebelum menyelesaikan tulisan ini sambil makan mi instan dan minum kopi instan, saya teringat nasihat senior saya, saat kumpul-kumpul di Ceger, seminggu yang lalu, “Saya percaya bahwa yang kita lakukan sekarang adalah untuk kita petik hasilnya, sepuluh tahun yang akan datang”, katanya. Jelas, ia bukan sedang bicara instan. Ia sedang mengatakan bahwa semuanya perlu proses dan tahapan.
“Aduu...h kok lama amir ya Maas...”, kata tetangga saya yang seorang auditor, ketika saya cerita tentang sepuluh tahun itu. (*)

New Page 1