Hawa Baik di Tahun Baru

Mengisi liburan panjang akhir tahun ini, selain menyempatkan beres-beres rumah—dari mulai ngepel, ngelap debu di rak buku, nempelin kliping dan nyetrika—saya menghabiskan waktu dengan nonton dua film. Yang pertama, melihat ketangguhan akting Mbak Dian Sastro, yang berperan sebagai Dona Satelit, penyanyi dangdut pasar malam, di film 3 Doa 3 Cinta itu. Yang kedua, memenuhi rasa ingin tahu cerita komik yang diadaptasi menjadi sebuah film, saya menyaksikan aktor senior yang pintar bermain watak, Samuel L. Jackson, dalam film The Spirit.

Baik Mbak Dian maupun Pak Jackson, di film mereka masing-masing, bukan berperan sebagai tokoh alim, kalem, baik hati dan tidak sombong. Mbak Dian sebagai Dona, selain berpenampilan sensual dalam setiap aksi panggungnya, ia juga matre karena selalu minta uang ke Huda hanya karena Huda butuh informasi keberadaan ibunya. Huda, yang sejak masih piyik dibuang ibunya ke sebuah pondok pesantren, diperankan dengan sangat alim oleh Mas Nicholas Saputra.

Pak Jackson jahat sekali. Sebagai tokoh bengis bernama Octopus, ia ingin hidup abadi. Ia juga ingin kaya raya, sebagai bandar narkoba kelas tinggi, lengkap dengan laboratorium yang bisa mencipta “orang”, hanya dengan meng-klon mereka. Wajah, mata, alis, mulut, semuanya sama. Di akhir film, seperti film-film jagoan lainnya, Pak Jackson tentu harus mati. Spirit, nama panggilan sang jagoan, berhasil menghancurkan Octopus ini, dengan sebuah granat yang ia bawa.

Di sela-sela waktu menunggu filmnya Pak Jackson diputar, di lobby gedung bioskop yang amat luas itu, saya lihat sepasang manusia yang berbeda jauh umurnya dengan saya. Mungkin mereka sekitar enam puluh tahunan, atau bahkan lebih. Mereka adalah tuan dan nyonya, yang sedang menyaksikan cuplikan-cuplikan film, yang sliwar-sliwer di delapan monitor layar datar, lengkap dengan jadwal pertunjukan di hari itu.

Kebetulan saya sendiri sudah mengantongi tiket, sehingga saya tinggal duduk saja sambil menyaksikan lalu lalang pengunjung yang semua memancarkan mimik kegembiraan itu. Tak ada wajah bete di antara mereka, yang sering saya temui jika saya sedang mengantre tiket busway, atau saat saya berdiri menahan pegel, menunggu mbak-mbak teller memanggil saya di sebuah bank.

Sepasang manusia lanjut usia itu, mempertontonkan gesture tubuh yang luwes, serasi, helpful, dan saling melengkapi. Mereka bergandengan tangan. Terlihat sekali mereka saling mengasihi. Tak jarang keduanya menunjukkan jari telunjuk mereka, ke monitor layar datar yang terpajang rapi di di atas lobby itu. Saya melihat mereka mengobrol, yang tak jarang diselingi senyum dan tawa kecil di antara keduanya.

Akhirnya, sang nyonya mengambil dua lembar uang lima puluh ribuan dari dompet yang ia tenteng, dan menyerahkannya ke sang tuan. Beriringan, mereka menuju loket penjualan tiket. Perhatian saya terputus, karena saya harus segera masuk auditorium. Filmnya Pak Jackson segera mulai. Saya tidak tahu mereka menonton film yang mana. Mungkin, kalau tidak Bolt, mereka ingin nonton film Madagascar, yang keduanya film kartun, dan pasti akan membuat mereka tertawa terkekeh-kekeh.

Baik dan Jahat

Di Hari Natal kemarin, untuk menjaga silaturahmi, saya mengirim surel (surat elektronik, email) ucapan natal ke seorang kolega, yang sebagian isinya saya tulis begini, “Semoga dalam damai dan kasih Tuhan, kita senantiasa mendapatkan petunjuk dan jalan yang lapang dalam meniti kehidupan yang penuh tanda tanya”.

Mengutip seorang suster yang pernah menjadi gurunya, kolega saya membalas, “Saat ini kita hidup dalam alam di mana hawa jahat sedang berkuasa. Tapi, percayalah, pada masanya hawa baik akan selalu ada, dan ia yang akan balik berkuasa”.

Saya merenungkan balasan surel dari kolega saya itu. Saya melamun, membayangkan, apakah betul di negeri ini yang sedang berkuasa adalah hawa jahat dan bukan hawa baik. Jika yang menjadi petunjuk hawa jahat misalnya adalah, orang makin tidak merasa bersalah untuk menindas orang yang lainnya, betul juga adanya. Lalu, jika hawa jahat itu diukur dengan makin lebarnya jarak antara si miskin dan si kaya, tidak keliru juga adanya.

Jika hawa jahat itu diukur dengan makin gampangnya pemimpin negeri melupakan janji-janji untuk menyejahterakan rakyatnya, kok ya tidak salah memang begitulah kondisinya. Lalu jika hawa jahat ditunjukkan dengan banyaknya angka kriminalitas di Jakarta, orang semua tahu adanya. Tiap hari koran menulisnya di halaman utama.

Kembali ke film Spirit dan 3 Doa 3 Cinta itu. Kalau di filmnya Pak Jackson sebagai tokoh Octopus ia harus mati, di film 3 Doa 3 Cinta, yang menceritakan pernak-pernik kehidupan pondok pesantren itu, ada tokoh Syahid, sahabat dekatnya Huda, yang memberikan teladan buat kita.

Dengan lugunya, Syahid (dalam sebuah obrolan dengan Huda dan seorang kawan mereka, Rian) bilang, “Sesuai namaku Syahid, aku ingin menjadi seorang yang mati syahid. Lalu masuk surga”. Tapi akhirnya Syahid sadar, bahwa pilihan hidup yang ia tempuh (mengartikan mati syahid dengan menjadi seorang muslim garis keras dan melawan kafir-kafir Amerika) adalah keliru. Hawa jahat dengan melawan orang-orang yang ia anggap sebagai musuh, akhirnya pupus.

Kini tahun 2008 akan segera berlalu. Kalender Hijriyah pun demikian. Tahun 1430 sudah di depan mata. Lembaran dan babak kehidupan akan segera berganti. Saya membayangkan dan berharap, di tahun depan, hawa baik makin terasa. Kehidupan dengan rasa saling mengasihi, mengedepankan cinta, tumbuh dan terus berkembang. Kalau bisa, tanpa henti.

Seperti tuan dan nyonya di gedung bioskop itu. Sampai usainya hidup mereka nanti. (*) Ciputat, 28/12/2008

 

Visit the Poor

Saya sedang berlatih mengikuti piwulang Mas Fauzi Ichsan, ekonom cemerlang dari sebuah bank asing terkenal, yang putera dari perancang senior, Ibu Poppy Dharsono itu. Kata Mas Fauzi dalam sebuah wawancara majalah gaya hidup pria, jika ia sedang stres, salah satu terapinya (yang saya jadikan judul tulisan saya kali ini) adalah Visit the Poor. Di antaranya, mengunjungi panti asuhan. Atau setidaknya mengingat kalangan yang tidak seberuntung kita. Mereka yang masih kesulitan untuk sekadar makan dan mencukupi kebutuhan dasarnya.

Sudah lebih dari dua bulan ini, saya juga sedang melakukan terapi versi saya. Ini saya lakukan agar saya lebih eling, lebih bisa menebar rasa kasih, lebih peduli, dan lebih menghargai seseorang tidak hanya dari status sosialnya. Rasa gemagus dan gemedhe yang sering tiba-tiba datang tak terkendali, pelan-pelan saya hilangkan. Saya juga sedang berlatih untuk selalu mengucapkan terima kasih. Walaupun sedang bete, bibir saya paksa agar mengeluarkan dua kata itu. Saya juga masih harus terus melatih senyum, agar wajah saya yang kata keponakan saya mengkereng, terlihat sedikit ramah dan enak dipandang.

Dalam rangka menjalankan terapi ini, saya meningkatkan frekuensi tebaran senyum saya kepada orang-orang yang sering berinteraksi dengan saya. Kalau dengan atasan, kolega dan kawan itu sudah pasti. Ini adalah kepada mereka yang, status sosialnya (teranggap) lebih di bawah kita. Kepada office boy di kantor, jika saya datang, saya usahakan selalu lebih dulu menyapa dia. Tentu dengan senyum. Lalu kepada sekuriti di kompleks kantor. Sekadar menanyakan sambil guyon, “Ngalamun ya Maaas?”, membuat mereka merasa dihargai.

Ucapan terima kasih dan senyum juga saya tebarkan ke mbak-mbak pramusaji yang melayani saya saat makan di kantin atau restoran. Kepada petugas ticketing saat saya mau antre naik busway atau kepada mbak-mbak yang ngasih tiket jika saya mau nonton film. Tak lupa kepada mbak-mbak di salon yang telah mencuci muka saya, sehingga membuat wajah saya sedikit enak dilihat. Tidak terlalu mengkereng lagi.

Tak ketinggalan jika saya sedang jalan-jalan ke mal. Dulu, saya sering merasa gemedhe jika taksi yang saya naiki, pintunya dibuka oleh door man atau sekuriti mal itu. Alih-alih mengucapkan terima kasih, saya langsung ngeloyor masuk ke mal, hanya untuk sekadar ngerumpi ketawa-ketiwi sambil ngufi-ngufi, yang secangkir harganya bisa untuk makan di warteg, sebanyak tiga kali makan itu. Tapi sekarang, saya sebisa mungkin mengucapkan terima kasih, yang tentu dengan, sekali lagi, senyum.

Agar saya sadar bahwa saya malas, sering ngeluh ini-ono, atau merasa kurang beruntung, saya terapi dengan bergegas pergi ke pasar. Yang gampang saya jangkau, jika bukan ke Pasar Ciputat ya ke Pasar Kebayoran Lama. Di pasar, saya temukan kalangan the Poor, seperti kata Mas Fauzi tadi. Penjual bumbon (bumbu dapur) mulai dari daun jeruk, daun salam, daun sereh dan segala rupa rempah-rempah, sering saya lihat terkantuk-kantuk di kala pagi hari. Pasti ia sudah begadang sejak dini hari.

Lalu ada kuli angkut dan pendorong gerobak yang berpeluh keringat atau penggiling bawang dan cabe yang harus menahan perih di mata. Tak terkecuali penjual tempe, cabe dan sayuran dengan gelaran di pinggir jalan yang harus rela memberikan iuran wajib kalau tidak mau digusur, kepada bapak-bapak berseragam dan beratribut tertentu.

Saya belajar dari mereka. Tentang semangat, tentang kerja keras dan tentang betapa berharganya rupiah demi rupiah yang mereka kumpulkan itu. Saya yang duduk-duduk manis di ruangan berdingin udara yang mak nyesss, kursi empuk, makan siang ada yang melayani, tapi kok ya masiiih saja menggerutu. Sering malas. Dari merekalah saya belajar untuk tidak malas.

Untuk mengakui betapa kecilnya saya di mata alam dan Tuhan sekaligus saya juga bisa belajar dari nelayan, saya pergi ke laut. Di sana terhampar betapa luasnya apa yang dicipta Tuhan. Tidak terkungkung dalam gedung-gedung pencakar langit, yang orang-orang yang bekerja di dalamnya sering monoton -- basa-basinya jadi bener-bener basi. Saya merasa kecil sekali jika sedang duduk termenung di laut luas sana.

Angin laut yang kadang datang semilir di senja hari, mendatangkan suasana relaksasi, melebihi ritual mandi uap yang biayanya jika saya ceritakan ke nelayan itu pasti ia akan terkekeh-kekeh. Dari nelayan, saya belajar arti kesabaran. Mereka melaut berpuluh-puluh jam, agar bisa membelikan susu buat si kecil, dan memberi ongkos ke sekolah buat yang besar. Nelayan juga mencitrakan apa adanya. Tak jarang mereka bertelanjang dada, sehingga tak perlu berganti-ganti busana mengikuti aturan dress code ini-itu, yang masih sering membuat saya saltum hingga salting itu.

Lain dengan kawan saya yang sekretaris, yang sering me-leverage dirinya sendiri. “Mas mas, jam tanganku yang ini harganya sekian juta lho bo! Aku beli dua warnaya beda, biar pas dengan warna blusku”, suatu hari ia pamer ke saya.

Beberapa waktu yang lalu, saya ada rapat sambil makan malam di sebuah hotel berbintang di daerah Bundaran HI. Karena kebanyakan minum ditambah ruangan yang dingin, saya perlu ke rest room. Di depan kaca besar dan wastafel yang terletak bersebelahan dengan jejeran kaum pria membuang hajat kecilnya, berdiri seorang mas-mas petugas hotel dengan senyum yang ramah. “Selamat malam Pak...”, ia menyapa saya ketika saya baru membuka pintu rest room itu.

Setelah saya selesai berkemih, saya ingin merapikan kemeja dan mematut diri di depan kaca itu. Dengan senyum yang masih mengembang, si mas-mas tadi menjulurkan sehelai handuk kecil hangat sambil menyapa saya, “Baru dinner Pak? Makanannya enak?” Ia terlihat begitu ikhlas mengerjakan tugasnya. Tapi dari sorot matanya, saya melihat dia sudah sangat lelah. Pasti ia bolak balik tidak hanya di seputaran rest room itu. Sambil mengembalikan handuk, saya mengucapkan terima kasih. Saya lupa kalau tidak dibilang kelewatan. Saya tidak memberikan tips ala kadarnya ke dia.

Gesture tubuh mas-mas yang luwes, respek dan menghormati itu, berbeda dengan saya tatkala di kantor. Jika minta difotokopikan suatu dokumen misalnya, saya kadang memerintah bak seorang komandan. Tidak bilang dengan nada minta tolong. Cukup berkata, “Fotokopi! Halaman satu sampai lima!”, dengan muka tidak seramah seperti mas-mas tadi, tapi diusahakan sok-sok berwibawa, sehingga agak-agak gimanaaa gitu.

Tapi kalau sekarang, dengan senyum dan gesture tubuh yang saya luwes-luweskan seperti mas-mas yang di rest room hotel itu, saya perhalus seperti ini, “Tolong Mas Tris, saya dibatu fotokopi. Kalau sutra, taruh di meja saya. Terima kasih ya Maaas...” [kmp]

New Page 1